Tentang asal mula suku bangsaDayak, banyak teori yang diterima
adalah teori imigrasi bangsa Chinadari Provinsi Yunan di Cina
Selatan. Penduduk Yunan ber-imigrasibesar-besaran (dalam kelompok
kecil) di perkirakan pada tahun 3000-1500 SM (SM). Sebagian dari
mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke
wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan,Taiwan dan
filipina.
Pada migrasi gelombang pertama yang
oleh beberapa ahli disebut proto-melayu, datanglah kelompok negroid
dan weddid. Sedangkan gelombang kedua, dalam jumlah yang lebih besar
di sebut Deutero-Melayu. Para migran Deutero-Melayu kemudia menghuni
wilayah pantai Kalimantan dan disebut suku Melayu. Proto-melayu dan
Deutero-melayu sebenarnya berasal dari negeri yang sama.
Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan Muller-Schwaner.
Dari pegungungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-197 8)
Cerita selanjutnya suku Dayak adalah tentang bagaimana mereka menghadapi gelombang-gelombang kelompok lain yang datang ke Kalimantan. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman.
Arus
besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari
kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun
1608). Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam tidak lagi mengakui
dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang
Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama
Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan
Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari,
Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus
terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk islam kebanyakan berada di
Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan
Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya
adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan Muller-Schwaner.
Dari pegungungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-197 8)
Cerita selanjutnya suku Dayak adalah tentang bagaimana mereka menghadapi gelombang-gelombang kelompok lain yang datang ke Kalimantan. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman.
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam. Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan,1977-197 8)
Bahkan sumber lain menyebutkan sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
Tradisi Kebiasaan Suku Dayak
Seni tato dan telinga panjang menjadi
ciri khas atau identitas yang sangat menonjol sebagai penduduk asli
Kalimantan. Dengan ciri khas dan identitas itulah yang membuat suku
Dayak di kenal luas hingga dunia internasional dan menjadi salah satu
kebanggan budaya yang ada di Indonesa. Namun tradisi ini sekarang
justru semakin ditinggalkan dan nyaris punah. Trend dunia fashion
telah mengikis budaya tersebut . Kalaupun ada yang bertahan, hanya
sebagian kecil golongan generasi tua suku Dayak yang berumur di atas
60 tahun. Generasi suku Dayak diatas tahun 80-an bahkan generasi
sekarang mengaku malu.
Di Kalimantan Timur untuk bisa menemui
wanita suku Dayak yang masih mempertahankan budaya telinga panjang
sangat sulit. Karena kini hanya bisa ditemui dipedalaman Kalimantan
Timur dengan menempuh jalur melewati sungai yang memakan waktu
berhari-hari. Karena gaya hidup suku Dayak memang lebih akrab dengan
hutan maupun gua.
Untuk melestarikan budaya, tradsi
maupun adat suku Dayak Pemerintah Kota Samarinda membangun
perkampungan budaya suku Dayak yang diberi nama Kampung Budaya
Pampang. Di desa ini ada sekitar 1000 warga suku Dayak yang masih
mempertahankan budaya, tradisi maupun adat.
Dibawah ini ada beberapa adat istiadat
bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia
supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang
masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu
kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal
mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.
- Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku
Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran
tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat.
Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat
khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah
sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah
mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak
sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain.
Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya
(Sandung).
- Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak
memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak.
Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak
sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku
Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu
dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan
banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan
cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan
musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media
burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
- Mangkok merah.
Mangkok merah merupakan media persatuan
Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan
mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak
sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang
berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara
cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu
siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia
mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak
panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti
peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan
diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat
untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam
acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima
lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur
untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang
Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti
panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila
bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh
para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah,
hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana
perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal,
dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah
dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin
banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu
(ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam
bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan
juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus)
yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan
beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu
untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek
api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali
simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi
dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok
merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi
lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada
tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang
antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu
Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama
yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut,
dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang
tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang
sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu
diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka
Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai
tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit,
sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).
PROSES PENGUBURAN SUKU DAYAK MAANYAN
Setelah seseorang dari suku Dayak
Maanyan dinyatakan meninggal maka dibunyikanlah gong beberapa kali
sebagai pertanda ada salah satu anggota masyarakat yang meninggal.
Segera setelah itu penduduk setempat berdatangan ke rumah keluarga
yang meninggal sambil membawa sumbangan berupa keperluan untuk
penyelenggaraan upacara seperti babi, ayam, beras, uang, kelapa, dan
lain-lain yang dalam bahasa Dayak Maanyan disebut nindrai.
Beberapa orang laki-laki pergi ke dalam
hutan untuk mencari kayu bakar dan menebang pohon hiyuput (pohon
khusus yang lembut) untuk dibuat peti mati. Kayu yang utuh itu
dilubangi dengan beliung atau kapak yang dirancang menyerupai perahu
tetapi memakai memakai tutup. Di peti inilah mayat nantinya akan
dibaringkan telentang, peti mati ini dinamakan rarung.
Seseorang yang dinyatakan meninggal
dunia mayatnya dimandikan sampai bersih, kemudian diberi pakaian
serapi mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar bamban
yang diatasnya dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan
ujung kaki dinyalakan lampu tembok atau lilin. Kemudian sanak famili
yang meninggal berkumpul menghadapi mayat, selanjutnya diadakan
pengambilan ujung rambut, ujung kuku, ujung alis, ujung bulu mata,
dan ujung pakaian si mati yang dikumpulkan menjadi satu dimasukkan ke
sebuah tempat bernama cupu. Semua perangkat itu dinamakan rapu yang
pada waktu penguburan si mati nanti diletakkan di atas permukaan
kubur dengan kedalaman kurang lebih setengah meter.
Tepat tengah malam pukul 24.00 mayat
dimasukkan ke dalam rarung sambil dibunyikan gong
berkali-kali yang istilahnya nyolok. Pada waktu itu akan
hadirwadian, pasambe, damang, pengulu adat, kepala desa, mantir
dan sanak keluarga lainnya untuk menghadapi pemasukan mayat ke dalam
rarung.
Pasambe bertugas menyiapkan semua
keperluan dan perbekalan serta peralatan bagi si mati yang nantinya
disertakan bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas
menuturkan semua nasihat dan petunjuk agar amirue (roh/arwah)
si mati tidak sesat di perjalanan dan bisa sampai di dunia baru.
Wadian di sini juga bertugas memberi makan si mati dengan makanan
yang telah disediakan disertai dengan sirih kinangan, tembakau dan
lain-lain.
Jika penuturan wadian telah selesai
tibalah saatnya orang berangkat mengantar peti mati ke kuburan. Pada
saat itu sanak keluarganya menangisi keberangkatan sebagai cinta
kasih sayang kepada si mati. Menunjukkan ketidakinginan untuk
berpisah tetapi apa daya tatau matei telah sampai dan rasa haru
mengingat semua perbuatan dan budi baik si mati selagi berada di
dunia fana.
Siapapun tak bisa menyangkal kemampuan
batin manusia Dayak sangat kuat. Ini adalah hasil dari keakraban
manusia Dayak dengan dirinya sendiri dan lingkungannya dan diolah
dengan laku perbuatan yang nyata: membela harkat dan martabat
kemanusiaan serta alam sekitarnya dengan cara diam dan simbolik.
Salah satu ketua adat dari Etnis Dayak
pedalaman menceriterakan bagaimana dia mendapatkan ilmu kesaktian
sehingga dia memiliki sejumlah kelebihan yang tidak dimiliki oleh
manusia lain. Salah satu pesan penting dan begitu mendalam adalah apa
yang biasa didengar oleh para spiritualis di Jawa yaitu etos yang
disebut mesu budi, — dari Serat Wedatama. Yaitu bermakna
mengandalkan kekuatan batin dan tidak bertumpu pada kemegahan dunia.
Bahwa NILAI MANUSIA TIDAK PERNAH DILIHAT DARI HARTA YANG DIA MILIKI,
TETAPI DARI APA YANG TELAH DIA PERBUAT UNTUK MANUSIA DAN ALAM
SEKITARNYA.
“Di zaman yang semakin bobrok seperti
sekarang ini, seharusnya jangan hanya mengejar dunia. Lihat saja
semua tokoh besar yang meninggal, tidak terkenal karena kendaraan
mewah yang dia miliki, rumah yang dia punya, tetapi karena karya yang
telah dia buat selama hidupnya,” katanya.
Salah satu adat yang diyakini manusia
Dayak adalah menganggap tabu untuk menebang pohon di sekitar daerah
itu, sehingga timbul berbagai istilah hutan adat atau hutan keramat
yang dikenal sejak zaman nenek moyang mereka. Sayangnya, masih banyak
oknum-oknum yang secara membabi buta melakukan penebangan hanya untuk
kepentingan pribadi tanpa memikirkan akibat yang timbul dari
perbuatannya tersebut.
Tidak sedikit dari wilayah hutan yang
diklaim masyarakat Dayak setempat sebagai hutan adat, dijadikan areal
penebangan hutan secara liar. Lagi-lagi sangat disayangkan,
masyarakat Dayak setempat harus gigit jari terhadap para penebang
yang sebenarnya telah melakukan pantangan adat dan pantas menerima
hukuman, baik hukum positif maupun adat. Mereka tidak dapat berbuat
banyak melihat hal itu. Selain menjadi penonton yang baik mereka
lebih banyak diam, karena keterbatasan pengetahuan. Sementara aparat
yang seharusnya menjadi pelindung bagi justeru ikut-ikutan menjarah
hasil penebangan liar tersebut. Padahal selama ini, jika manusia
Dayak memang harus melakukan penebangan kayu untuk membuka lahan atau
dijadikan bahan baku membuat rumah, sebelumnya melakukan suatu
upacara adat dengan berbagai sesaji.
Itu sebabnya saat terjadi kerusakan
hutan yang parah di Kalimantan, manusia Dayak sangat gelisah dan
tiada henti memprotes. Salah satu protes itu berbentuk pernyataan
bersama menolak perusakan hutan. Misalnya protes yang dilancarkan
Forum Kampung Dayak Punan Hulu Kelay yang terdiri dari Kampung Long
Suluy, Long Lamcin, Long Lamjan, Long Keluh, Long Duhung, dan Kampung
Long Beliu Kabupaten Berau. Mereka memberikan pernyataan:
Bahwa; hutan, air, sungai, pohon buah,
pohon madu, tanaman obat, binatang buruan, rotan, emas dan
sumber-sumber alam lainnya adalah tempat hidup dan sumber kehidupan
kami dan kami harus menjaganya untuk memastikan sumber-sumber alam
tersebut, akan
terus ada dan tersedia sebagai amanah pendahulu kami dan untuk kehidupan kami sekarang dan kehidupan generasi penerus kami pada masa yang akan datang, dengan ini kami sampaikan pernyataan kami untuk semua pihak:
terus ada dan tersedia sebagai amanah pendahulu kami dan untuk kehidupan kami sekarang dan kehidupan generasi penerus kami pada masa yang akan datang, dengan ini kami sampaikan pernyataan kami untuk semua pihak:
1. Menolak penambangan sumberdaya alam,
terutama tambang emas dengan menggunakan alat-alat mesin dan zat-zat
yang membahayakan, kecuali dilakukan secara tradisional (dulang)
seperti yang diajarkan oleh manusia tua kami secara turun-temurun.
2. Tidak menerima segala bentuk perkebunan besar, yang membuka hutan secara luas dan dapat menghabiskan sumberdaya alam sebagai tempat kami menggantungkan hidup dan kehidupan.
3. Menolak segala bentuk kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh siapapun dan dalam bentuk apapun.
4. Menolak segala bentuk perburuan binatang yang dilindungi baik yang dilindungi hukum adat maupun dilindungi hukum positif, kecuali perburuan bintang yang tidak dilindungi untuk kebutuhan hidup kami secara terbatas
5. Meminta pada semua pihak untuk mengakui dan menghargai hak-hak masyarakat secara adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam
6. Meminta kepada semua masyarakat yang tinggal dikampung-kampung hulu sungai kelay, untuk secara bersama-sama menjaga dan mempertahankan seluruh sumber-sumber kehidupan kita.
2. Tidak menerima segala bentuk perkebunan besar, yang membuka hutan secara luas dan dapat menghabiskan sumberdaya alam sebagai tempat kami menggantungkan hidup dan kehidupan.
3. Menolak segala bentuk kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh siapapun dan dalam bentuk apapun.
4. Menolak segala bentuk perburuan binatang yang dilindungi baik yang dilindungi hukum adat maupun dilindungi hukum positif, kecuali perburuan bintang yang tidak dilindungi untuk kebutuhan hidup kami secara terbatas
5. Meminta pada semua pihak untuk mengakui dan menghargai hak-hak masyarakat secara adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam
6. Meminta kepada semua masyarakat yang tinggal dikampung-kampung hulu sungai kelay, untuk secara bersama-sama menjaga dan mempertahankan seluruh sumber-sumber kehidupan kita.
Pernyataan ini adalah pesan serius dari
kalangan komunitas Dayak yang selama ini dipandang rendah, hina,
dibodoh-bodohkan dan dianggap sebagai “suku terasing” atau
“primitif.” Jika kita memahami budaya Dayak, maka kebangkitan
untuk tidak diam melihat kerusakan lingkungan ini bisa digambarkan
bahwa naga yang tinggal di lubuk sungai telah muncul ke permukaan dan
menghempas-hempaskan ekor raksasa perkasanya.
Dalam khasanah Budaya Dayak, manusia
harus meyakini adanya konsep hidup-mati: “RENGAN TINGANG NYANAK
JATA” (anak enggang, putera-puteri naga), yang dilambangkan oleh
enggang dan naga (jata) di seluruh pulau Kalimantan, bukanlah manusia
agresif. Tapi jika berkali-kali diagresi dalam berbagai bentuk,
mereka akan melakukan perlawanan “ISEN MULANG” yang artinya
“takkan pulang kalau tak menang”. Secara fisik terbaca pada
“lahap” (pekikan perang) atau “lawung bahandang” (ikat kepala
merah) dan “mangkok merah”.
Aksi Dayak ini hanya dilakukan jika
mereka sampai pada batas kesabaran, apabila bumi dan mereka terus
dirusak, apabila “sumpah potong rotan” dan upacara sejenis sudah
dilakukan dan terus-menerus dilanggar. Padahal sejatinya, manusia
Dayak termasuk manusia pendiam dan banyak bicara dengan bahasa
isyarat, tatapan mata dan pengamatan serta mencermati kata oleh
adanya tradisi mantera yang kuat di kalangan komunitas mereka.
Mantera adalah satunya kata dan tindakan, keyakinan pada makna kata.
Manusia Dayak mengenal zat tertinggi
yang menciptakan dunia dan segala isinya. Itu tersirat dalam adat,
mitos-mitos tentang kejadian alam semesta dan manusia yang
memperlihatkan keterkaitan-keterkaitan antara manusia dengan
makhluk-makhluk lain serta alam lingkungan sekitarnya. Keyakinan
terhadap zat tertinggi atau Tuhan itu tersurat dalam keyakinan mereka
terhadap adanya dunia batin (inner world) yang memiliki kekuatan
magis yang mengendalikan alam semesta. Berbagai nama-nama pengetahuan
batin manusia Dayak tersebut diantaranya: Parang-maya, Pipit Berunai,
Tumbak Gahan, Awoh, Kiwang, Kibang, Pakihang, Panikam Jantung, dan
Petak Malai, dan Pantak.
Dalam mitologinya, manusia Dayak
mengenal empat tingkatan dewa-dewa sebagai kekuatan alam yang tinggi.
Mereka adalah:
(1) NEK PANITAH. Nek Panitah adalah
dewa tertinggi. Ia hidup bersama istrinya yang bernama Nek Duniang.
Anak Nek Panitah dengan Ne’ Duniang bernama Baruakng Kulub. Panitah
= perintah.
(2) JUBATA. Jubata adalah roh-roh yang
baik. Jumlah mereka banyak. Tiap sungai, gunung, hutan, bukit
mempunyai jubata. Yang terpenting adalah jubata dari bukit bawakng.
Apa’ Manto Ari adalah raja dari bukit bawakng.
(3) KAMANG. Kamang adalah roh-roh
leluhur dari orang dayak. Ia berpakaian cawat dan kain kepala warna
merah dan putih diputar bersama ( tangkulas ). Ini juga pakaian dari
pengayau kalau mereka pulang dengan membawa hasil. Kamang pandai
melihat, mencium bau dan makanannya darah. Ini terlihat dari
upacara-upacara adat. Darah untuk kamang dan beras kuning untuk
jubata. Kamang tariu dan kamang 7 bersaudara. Kamang tariu adalah
adalah Kamang Nyado dan Kamang Lejak. Sedangkan kamang 7 bersaudara
adalah Bujakng Nyangko ( yang tertua ) tinggal dibukit samabue,
Bujakng Pabaras, Saikng Sampit, Sasak Barinas, Gagar Buluh, Buluh
Layu’ dan Kamang Bungsu ( dari Santulangan ). Bujakng Nyangko
adalah kamang yang baik. Sedangkan yang lain terkadang baik dan
terkadang jahat. Saikng sampit, Sasak Barinas, Gagar Buluh dan Buluh
Layu’ adalah kamang yang sering tidak senang dan menyebabkan pada
waktu itu penyakit dan kematian. Kamang Tariu dengan 7 bersaudara itu
adalah pelindung dari para pengayau.
(4) ANTU. Jumlah antu ( hantu ) banyak
sekali. Dalam arti tertentu, mereka kurang lebih jiwa orang mati.
Antu selalu menyebabkan penyakit pada manusia, binatang maupun
tumbuhan. Antu cacar menyebabkan penyakit pada manusia. Antu apat
menyebabkan penyakit padi dan antu serah menyebabkan banyak tikus
makan padi diladang.
Kepercayaan pada 4 tingkat makhluk
supranatural inilah yang melahirkan asas-asas kehidupan mereka,
yakni:
(1) PAMA. Pama artinya kekuatan yang
membawa keuntungan. Pama hanya dimiliki oleh orang besar dan juga
pengayau yang berhasil. Mereka mempunyai pama karena dianggap mereka
mempunyai hubungan keatas, dengan jubata. Kalau orang yang mempunyai
pama meninggal, pama pindah kepantak yang pada akhirnya ditempatkan
dipadagi. Kata pama sendiri berasal dari bahasa sanskrit = umpama,
berarti gambaran. Pantak adalah gambaran seseorang yang mempunyai
pama pada waktu dia hidup.
(2) JIWA. Orang Dayak mengenal ada 7
jiwa. Yaitu :
NYAWA. Hanya manusia dan binatang yang
mempunyai nyawa. Nyawa hilang waktu meninggal.
SUMANGAT. Bukan hanya manusia mempunyai
sumangat, tetapi juga binatang, tanaman dan benda-benda. Ini dapat
dilihat dari doa-doa persembahan yang selalu diakhir dengan memanggil
kembali sumangat manusia, padi, babi, ayam, beras, emas, perak dan
semua milik rumah. Sumangat dengan mudah keluar dari tempatnya. Kalau
terkejut, sesudah suatu perbuatan yang berbahaya yang didampingi oleh
ketakutan, sesudah memandikan anak kecil ( bahaya sumangat anak
hilang bersama dengan air ). Sesudah melahirkan juga diadakan upacara
nyaru’ sumangat. Cara sederhana untuk memanggil sumangat kembali :
kurrr….a’ sumangat. Mimpi disebabkan oleh sumangat, karena itu
sumangat berjalan. Kalau kita sebut nama seseorang, sumangatnya pasti
datang dengan kita dan kita akan bertemu dengan semangat orang itu
dalam mimpi. Tempat sumangat ada dalam badan. Sumangat dikembalikan
dalam badan oleh dukun baliatn lewat telinga kiri. Sesudah manusia
meninggal, sumangatnya tidak menjadi pidara, tetapi pergi ke
subayatn. Sumangat dari orang yang dibuatkan pantak pergi ketempat
pantak itu dan bergabung dengan kamang.
AYU. Tempat ayu ada dibelakang badan.
Kalau ayu pergi, ayu dikembalikan dipermulaan punggung ( ka’
pungka’ balikakng ), dibawah leher. Ayu melindungi manusia dari
belakang. Penyakit yang disebabkan oleh kehilangan/kepergian ayu jauh
lebih parah daripada penyakit yang disebebkan oleh kepergian
sumangat. Dikatakan “ lapas ayu “ atau rongko’ (sakit ayu ).
Sesudah orang meninggal, ayu menjadi pidara dan tetap tinggal bersama
dengan badan. Ada hubungan erat antara ayu dengan hantu. Ayu juga
disebut hantu.
SUKAT. Dalam doa selalu dikatakan “
sukat nang panyakng satingi diri’ “ artinya sukat yang panjang
setinggi kami sendiri. Pertama sukat menunjuk kepada satu bagian dari
badan manusia, mulai dari atas kepala lewat otak ke sumsum belakang.
Penyakit bisa disebabkan oleh kekurangan sukat.
BOHOL. Bohol bersifat anatomis yakni
garis perut dari tulang dada ke pusat atau lebih khusus tempat
dibawah tulang dada yang berdenyut. Kurang bohol atau bohol yang
tidak lurus adalah sala satu sebab penyakit. “ kakurangan sukat
nang manyak, kakurangan bohol nang jarakng “ demikian dukun
menyebutkan sebab penyakit pasiennya. Penyakit karena kekurangan
bohol terutama dialami oleh anak kecil. Dari wnaita yang sulit
beranak dikatakan “ mereng bohol anak “ artinya bohol anak bayi
miring. Dukun baliatn pandai mencari bohol yang hilang.
LEO BANGKULE. Leo Bangkule berarti
jantung, hati, paru-paru atau semua organ dalam perut manusia. Dalam
doa, leo bangkule sering diundang kembali. Bersama dengan leo
bangkule selalu dikatakan : tali nyawa atau tali danatn atau tali
dane. Untuk manusia, tali nyawa berarti saluran pencernaan.
NENET SANJADI. Nenet Sanjadi disebut
juga saluran pernafasan ( tali sengat ), permulaan dari tali mulai
dari karukok (kerongkongan ).
Kesimpulan :
Indonesia terdiri dari berbagai macam
suku bangsa yang mempunyai keunikan dan kekhasannya masing masing.
Salah satunya adalah suku Dayak yg berada di Kalimantan. Suku Dayak
memiliki kekayaan budaya secara materi maupun non-materi yang cukup
beragam. Suku Dayak sampai saat ini juga masih ada dan masih tinggal
dan masih menjalani budayanya di seluruh pulau Kalimantan.
sumber :
http://wongalus.wordpress.com/