Pages

Sunday, May 4, 2014

Kebudayaan Suku Dayak

 Tentang asal mula suku bangsaDayak, banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi bangsa Chinadari Provinsi Yunan di Cina Selatan. Penduduk Yunan ber-imigrasibesar-besaran (dalam kelompok kecil) di perkirakan pada tahun 3000-1500 SM (SM). Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan,Taiwan dan filipina.

Pada migrasi gelombang pertama yang oleh beberapa ahli disebut proto-melayu, datanglah kelompok negroid dan weddid. Sedangkan gelombang kedua, dalam jumlah yang lebih besar di sebut Deutero-Melayu. Para migran Deutero-Melayu kemudia menghuni wilayah pantai Kalimantan dan disebut suku Melayu. Proto-melayu dan Deutero-melayu sebenarnya berasal dari negeri yang sama.

Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan Muller-Schwaner.

Dari pegungungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-197 8)

Cerita selanjutnya suku Dayak adalah tentang bagaimana mereka menghadapi gelombang-gelombang kelompok lain yang datang ke Kalimantan. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman.
Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608). Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)

Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam. Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan,1977-197 8)

Bahkan sumber lain menyebutkan sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)

Tradisi Kebiasaan Suku Dayak
Seni tato dan telinga panjang menjadi ciri khas atau identitas yang sangat menonjol sebagai penduduk asli Kalimantan. Dengan ciri khas dan identitas itulah yang membuat suku Dayak di kenal luas hingga dunia internasional dan menjadi salah satu kebanggan budaya yang ada di Indonesa. Namun tradisi ini sekarang justru semakin ditinggalkan dan nyaris punah. Trend dunia fashion telah mengikis budaya tersebut . Kalaupun ada yang bertahan, hanya sebagian kecil golongan generasi tua suku Dayak yang berumur di atas 60 tahun. Generasi suku Dayak diatas tahun 80-an bahkan generasi sekarang mengaku malu.
Di Kalimantan Timur untuk bisa menemui wanita suku Dayak yang masih mempertahankan budaya telinga panjang sangat sulit. Karena kini hanya bisa ditemui dipedalaman Kalimantan Timur dengan menempuh jalur melewati sungai yang memakan waktu berhari-hari. Karena gaya hidup suku Dayak memang lebih akrab dengan hutan maupun gua.
Untuk melestarikan budaya, tradsi maupun adat suku Dayak Pemerintah Kota Samarinda membangun perkampungan budaya suku Dayak yang diberi nama Kampung Budaya Pampang. Di desa ini ada sekitar 1000 warga suku Dayak yang masih mempertahankan budaya, tradisi maupun adat.
Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.

  • Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).

  • Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.

  • Mangkok merah.
Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).

PROSES PENGUBURAN SUKU DAYAK MAANYAN
Setelah seseorang dari suku Dayak Maanyan dinyatakan meninggal maka dibunyikanlah gong beberapa kali sebagai pertanda ada salah satu anggota masyarakat yang meninggal. Segera setelah itu penduduk setempat berdatangan ke rumah keluarga yang meninggal sambil membawa sumbangan berupa keperluan untuk penyelenggaraan upacara seperti babi, ayam, beras, uang, kelapa, dan lain-lain yang dalam bahasa Dayak Maanyan disebut nindrai.
Beberapa orang laki-laki pergi ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar dan menebang pohon hiyuput (pohon khusus yang lembut) untuk dibuat peti mati. Kayu yang utuh itu dilubangi dengan beliung atau kapak yang dirancang menyerupai perahu tetapi memakai memakai tutup. Di peti inilah mayat nantinya akan dibaringkan telentang, peti mati ini dinamakan rarung.
Seseorang yang dinyatakan meninggal dunia mayatnya dimandikan sampai bersih, kemudian diberi pakaian serapi mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar bamban yang diatasnya dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan ujung kaki dinyalakan lampu tembok atau lilin. Kemudian sanak famili yang meninggal berkumpul menghadapi mayat, selanjutnya diadakan pengambilan ujung rambut, ujung kuku, ujung alis, ujung bulu mata, dan ujung pakaian si mati yang dikumpulkan menjadi satu dimasukkan ke sebuah tempat bernama cupu. Semua perangkat itu dinamakan rapu yang pada waktu penguburan si mati nanti diletakkan di atas permukaan kubur dengan kedalaman kurang lebih setengah meter.
Tepat tengah malam pukul 24.00 mayat dimasukkan ke dalam rarung sambil dibunyikan gong berkali-kali yang istilahnya nyolok. Pada waktu itu akan hadirwadian, pasambe, damang, pengulu adat, kepala desa, mantir dan sanak keluarga lainnya untuk menghadapi pemasukan mayat ke dalam rarung.
Pasambe bertugas menyiapkan semua keperluan dan perbekalan serta peralatan bagi si mati yang nantinya disertakan bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas menuturkan semua nasihat dan petunjuk agar amirue (roh/arwah) si mati tidak sesat di perjalanan dan bisa sampai di dunia baru. Wadian di sini juga bertugas memberi makan si mati dengan makanan yang telah disediakan disertai dengan sirih kinangan, tembakau dan lain-lain.
Jika penuturan wadian telah selesai tibalah saatnya orang berangkat mengantar peti mati ke kuburan. Pada saat itu sanak keluarganya menangisi keberangkatan sebagai cinta kasih sayang kepada si mati. Menunjukkan ketidakinginan untuk berpisah tetapi apa daya tatau matei telah sampai dan rasa haru mengingat semua perbuatan dan budi baik si mati selagi berada di dunia fana.

Siapapun tak bisa menyangkal kemampuan batin manusia Dayak sangat kuat. Ini adalah hasil dari keakraban manusia Dayak dengan dirinya sendiri dan lingkungannya dan diolah dengan laku perbuatan yang nyata: membela harkat dan martabat kemanusiaan serta alam sekitarnya dengan cara diam dan simbolik.
Salah satu ketua adat dari Etnis Dayak pedalaman menceriterakan bagaimana dia mendapatkan ilmu kesaktian sehingga dia memiliki sejumlah kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia lain. Salah satu pesan penting dan begitu mendalam adalah apa yang biasa didengar oleh para spiritualis di Jawa yaitu etos yang disebut mesu budi, — dari Serat Wedatama. Yaitu bermakna mengandalkan kekuatan batin dan tidak bertumpu pada kemegahan dunia. Bahwa NILAI MANUSIA TIDAK PERNAH DILIHAT DARI HARTA YANG DIA MILIKI, TETAPI DARI APA YANG TELAH DIA PERBUAT UNTUK MANUSIA DAN ALAM SEKITARNYA.
“Di zaman yang semakin bobrok seperti sekarang ini, seharusnya jangan hanya mengejar dunia. Lihat saja semua tokoh besar yang meninggal, tidak terkenal karena kendaraan mewah yang dia miliki, rumah yang dia punya, tetapi karena karya yang telah dia buat selama hidupnya,” katanya.

Salah satu adat yang diyakini manusia Dayak adalah menganggap tabu untuk menebang pohon di sekitar daerah itu, sehingga timbul berbagai istilah hutan adat atau hutan keramat yang dikenal sejak zaman nenek moyang mereka. Sayangnya, masih banyak oknum-oknum yang secara membabi buta melakukan penebangan hanya untuk kepentingan pribadi tanpa memikirkan akibat yang timbul dari perbuatannya tersebut.
Tidak sedikit dari wilayah hutan yang diklaim masyarakat Dayak setempat sebagai hutan adat, dijadikan areal penebangan hutan secara liar. Lagi-lagi sangat disayangkan, masyarakat Dayak setempat harus gigit jari terhadap para penebang yang sebenarnya telah melakukan pantangan adat dan pantas menerima hukuman, baik hukum positif maupun adat. Mereka tidak dapat berbuat banyak melihat hal itu. Selain menjadi penonton yang baik mereka lebih banyak diam, karena keterbatasan pengetahuan. Sementara aparat yang seharusnya menjadi pelindung bagi justeru ikut-ikutan menjarah hasil penebangan liar tersebut. Padahal selama ini, jika manusia Dayak memang harus melakukan penebangan kayu untuk membuka lahan atau dijadikan bahan baku membuat rumah, sebelumnya melakukan suatu upacara adat dengan berbagai sesaji.
Itu sebabnya saat terjadi kerusakan hutan yang parah di Kalimantan, manusia Dayak sangat gelisah dan tiada henti memprotes. Salah satu protes itu berbentuk pernyataan bersama menolak perusakan hutan. Misalnya protes yang dilancarkan Forum Kampung Dayak Punan Hulu Kelay yang terdiri dari Kampung Long Suluy, Long Lamcin, Long Lamjan, Long Keluh, Long Duhung, dan Kampung Long Beliu Kabupaten Berau. Mereka memberikan pernyataan:
Bahwa; hutan, air, sungai, pohon buah, pohon madu, tanaman obat, binatang buruan, rotan, emas dan sumber-sumber alam lainnya adalah tempat hidup dan sumber kehidupan kami dan kami harus menjaganya untuk memastikan sumber-sumber alam tersebut, akan
terus ada dan tersedia sebagai amanah pendahulu kami dan untuk kehidupan kami sekarang dan kehidupan generasi penerus kami pada masa yang akan datang, dengan ini kami sampaikan pernyataan kami untuk semua pihak:
1. Menolak penambangan sumberdaya alam, terutama tambang emas dengan menggunakan alat-alat mesin dan zat-zat yang membahayakan, kecuali dilakukan secara tradisional (dulang) seperti yang diajarkan oleh manusia tua kami secara turun-temurun.
2. Tidak menerima segala bentuk perkebunan besar, yang membuka hutan secara luas dan dapat menghabiskan sumberdaya alam sebagai tempat kami menggantungkan hidup dan kehidupan.
3. Menolak segala bentuk kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh siapapun dan dalam bentuk apapun.
4. Menolak segala bentuk perburuan binatang yang dilindungi baik yang dilindungi hukum adat maupun dilindungi hukum positif, kecuali perburuan bintang yang tidak dilindungi untuk kebutuhan hidup kami secara terbatas
5. Meminta pada semua pihak untuk mengakui dan menghargai hak-hak masyarakat secara adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam
6. Meminta kepada semua masyarakat yang tinggal dikampung-kampung hulu sungai kelay, untuk secara bersama-sama menjaga dan mempertahankan seluruh sumber-sumber kehidupan kita.

Pernyataan ini adalah pesan serius dari kalangan komunitas Dayak yang selama ini dipandang rendah, hina, dibodoh-bodohkan dan dianggap sebagai “suku terasing” atau “primitif.” Jika kita memahami budaya Dayak, maka kebangkitan untuk tidak diam melihat kerusakan lingkungan ini bisa digambarkan bahwa naga yang tinggal di lubuk sungai telah muncul ke permukaan dan menghempas-hempaskan ekor raksasa perkasanya.
Dalam khasanah Budaya Dayak, manusia harus meyakini adanya konsep hidup-mati: “RENGAN TINGANG NYANAK JATA” (anak enggang, putera-puteri naga), yang dilambangkan oleh enggang dan naga (jata) di seluruh pulau Kalimantan, bukanlah manusia agresif. Tapi jika berkali-kali diagresi dalam berbagai bentuk, mereka akan melakukan perlawanan “ISEN MULANG” yang artinya “takkan pulang kalau tak menang”. Secara fisik terbaca pada “lahap” (pekikan perang) atau “lawung bahandang” (ikat kepala merah) dan “mangkok merah”.
Aksi Dayak ini hanya dilakukan jika mereka sampai pada batas kesabaran, apabila bumi dan mereka terus dirusak, apabila “sumpah potong rotan” dan upacara sejenis sudah dilakukan dan terus-menerus dilanggar. Padahal sejatinya, manusia Dayak termasuk manusia pendiam dan banyak bicara dengan bahasa isyarat, tatapan mata dan pengamatan serta mencermati kata oleh adanya tradisi mantera yang kuat di kalangan komunitas mereka. Mantera adalah satunya kata dan tindakan, keyakinan pada makna kata.
Manusia Dayak mengenal zat tertinggi yang menciptakan dunia dan segala isinya. Itu tersirat dalam adat, mitos-mitos tentang kejadian alam semesta dan manusia yang memperlihatkan keterkaitan-keterkaitan antara manusia dengan makhluk-makhluk lain serta alam lingkungan sekitarnya. Keyakinan terhadap zat tertinggi atau Tuhan itu tersurat dalam keyakinan mereka terhadap adanya dunia batin (inner world) yang memiliki kekuatan magis yang mengendalikan alam semesta. Berbagai nama-nama pengetahuan batin manusia Dayak tersebut diantaranya: Parang-maya, Pipit Berunai, Tumbak Gahan, Awoh, Kiwang, Kibang, Pakihang, Panikam Jantung, dan Petak Malai, dan Pantak.
Dalam mitologinya, manusia Dayak mengenal empat tingkatan dewa-dewa sebagai kekuatan alam yang tinggi. Mereka adalah:
(1) NEK PANITAH. Nek Panitah adalah dewa tertinggi. Ia hidup bersama istrinya yang bernama Nek Duniang. Anak Nek Panitah dengan Ne’ Duniang bernama Baruakng Kulub. Panitah = perintah.
(2) JUBATA. Jubata adalah roh-roh yang baik. Jumlah mereka banyak. Tiap sungai, gunung, hutan, bukit mempunyai jubata. Yang terpenting adalah jubata dari bukit bawakng. Apa’ Manto Ari adalah raja dari bukit bawakng.
(3) KAMANG. Kamang adalah roh-roh leluhur dari orang dayak. Ia berpakaian cawat dan kain kepala warna merah dan putih diputar bersama ( tangkulas ). Ini juga pakaian dari pengayau kalau mereka pulang dengan membawa hasil. Kamang pandai melihat, mencium bau dan makanannya darah. Ini terlihat dari upacara-upacara adat. Darah untuk kamang dan beras kuning untuk jubata. Kamang tariu dan kamang 7 bersaudara. Kamang tariu adalah adalah Kamang Nyado dan Kamang Lejak. Sedangkan kamang 7 bersaudara adalah Bujakng Nyangko ( yang tertua ) tinggal dibukit samabue, Bujakng Pabaras, Saikng Sampit, Sasak Barinas, Gagar Buluh, Buluh Layu’ dan Kamang Bungsu ( dari Santulangan ). Bujakng Nyangko adalah kamang yang baik. Sedangkan yang lain terkadang baik dan terkadang jahat. Saikng sampit, Sasak Barinas, Gagar Buluh dan Buluh Layu’ adalah kamang yang sering tidak senang dan menyebabkan pada waktu itu penyakit dan kematian. Kamang Tariu dengan 7 bersaudara itu adalah pelindung dari para pengayau.
(4) ANTU. Jumlah antu ( hantu ) banyak sekali. Dalam arti tertentu, mereka kurang lebih jiwa orang mati. Antu selalu menyebabkan penyakit pada manusia, binatang maupun tumbuhan. Antu cacar menyebabkan penyakit pada manusia. Antu apat menyebabkan penyakit padi dan antu serah menyebabkan banyak tikus makan padi diladang.
Kepercayaan pada 4 tingkat makhluk supranatural inilah yang melahirkan asas-asas kehidupan mereka, yakni:
(1) PAMA. Pama artinya kekuatan yang membawa keuntungan. Pama hanya dimiliki oleh orang besar dan juga pengayau yang berhasil. Mereka mempunyai pama karena dianggap mereka mempunyai hubungan keatas, dengan jubata. Kalau orang yang mempunyai pama meninggal, pama pindah kepantak yang pada akhirnya ditempatkan dipadagi. Kata pama sendiri berasal dari bahasa sanskrit = umpama, berarti gambaran. Pantak adalah gambaran seseorang yang mempunyai pama pada waktu dia hidup.
(2) JIWA. Orang Dayak mengenal ada 7 jiwa. Yaitu :

NYAWA. Hanya manusia dan binatang yang mempunyai nyawa. Nyawa hilang waktu meninggal.
SUMANGAT. Bukan hanya manusia mempunyai sumangat, tetapi juga binatang, tanaman dan benda-benda. Ini dapat dilihat dari doa-doa persembahan yang selalu diakhir dengan memanggil kembali sumangat manusia, padi, babi, ayam, beras, emas, perak dan semua milik rumah. Sumangat dengan mudah keluar dari tempatnya. Kalau terkejut, sesudah suatu perbuatan yang berbahaya yang didampingi oleh ketakutan, sesudah memandikan anak kecil ( bahaya sumangat anak hilang bersama dengan air ). Sesudah melahirkan juga diadakan upacara nyaru’ sumangat. Cara sederhana untuk memanggil sumangat kembali : kurrr….a’ sumangat. Mimpi disebabkan oleh sumangat, karena itu sumangat berjalan. Kalau kita sebut nama seseorang, sumangatnya pasti datang dengan kita dan kita akan bertemu dengan semangat orang itu dalam mimpi. Tempat sumangat ada dalam badan. Sumangat dikembalikan dalam badan oleh dukun baliatn lewat telinga kiri. Sesudah manusia meninggal, sumangatnya tidak menjadi pidara, tetapi pergi ke subayatn. Sumangat dari orang yang dibuatkan pantak pergi ketempat pantak itu dan bergabung dengan kamang.
AYU. Tempat ayu ada dibelakang badan. Kalau ayu pergi, ayu dikembalikan dipermulaan punggung ( ka’ pungka’ balikakng ), dibawah leher. Ayu melindungi manusia dari belakang. Penyakit yang disebabkan oleh kehilangan/kepergian ayu jauh lebih parah daripada penyakit yang disebebkan oleh kepergian sumangat. Dikatakan “ lapas ayu “ atau rongko’ (sakit ayu ). Sesudah orang meninggal, ayu menjadi pidara dan tetap tinggal bersama dengan badan. Ada hubungan erat antara ayu dengan hantu. Ayu juga disebut hantu.
SUKAT. Dalam doa selalu dikatakan “ sukat nang panyakng satingi diri’ “ artinya sukat yang panjang setinggi kami sendiri. Pertama sukat menunjuk kepada satu bagian dari badan manusia, mulai dari atas kepala lewat otak ke sumsum belakang. Penyakit bisa disebabkan oleh kekurangan sukat.
BOHOL. Bohol bersifat anatomis yakni garis perut dari tulang dada ke pusat atau lebih khusus tempat dibawah tulang dada yang berdenyut. Kurang bohol atau bohol yang tidak lurus adalah sala satu sebab penyakit. “ kakurangan sukat nang manyak, kakurangan bohol nang jarakng “ demikian dukun menyebutkan sebab penyakit pasiennya. Penyakit karena kekurangan bohol terutama dialami oleh anak kecil. Dari wnaita yang sulit beranak dikatakan “ mereng bohol anak “ artinya bohol anak bayi miring. Dukun baliatn pandai mencari bohol yang hilang.
LEO BANGKULE. Leo Bangkule berarti jantung, hati, paru-paru atau semua organ dalam perut manusia. Dalam doa, leo bangkule sering diundang kembali. Bersama dengan leo bangkule selalu dikatakan : tali nyawa atau tali danatn atau tali dane. Untuk manusia, tali nyawa berarti saluran pencernaan.
NENET SANJADI. Nenet Sanjadi disebut juga saluran pernafasan ( tali sengat ), permulaan dari tali mulai dari karukok (kerongkongan ).

Kesimpulan :
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang mempunyai keunikan dan kekhasannya masing masing. Salah satunya adalah suku Dayak yg berada di Kalimantan. Suku Dayak memiliki kekayaan budaya secara materi maupun non-materi yang cukup beragam. Suku Dayak sampai saat ini juga masih ada dan masih tinggal dan masih menjalani budayanya di seluruh pulau Kalimantan.

sumber :

http://wongalus.wordpress.com/